Implementasi penanganan tindak pidana narkotika di Indonesia khususnya bagi penyalahguna hingga saat ini masih belum memiliki keseragaman. Hal tersebut kemudian berimplikasi pada timbulnya berbagai permasalahan lainnya, salah satunya adalah over capacity di lembaga pemasyarakatan (Lapas).
Berangkat dari kondisi tersebut, Badan Narkotika Nasional Republik Indonesia (BNN RI) dengan didukung oleh Australian Federal Police (AFP) menyelenggarakan Focus Group Discussion (FGD) dengan mengangkat tema “Evaluasi dan Resolusi Rehabilitasi Penyalahguna Narkotika dalam Sinergitas Penegakan Hukum”. FGD yang berlangsung selama dua hari, pada Kamis hingga Jumat (7 s.d. 8 Maret 2024), di Hotel Aston Kemayoran, Jakarta, ini merupakan bentuk tindak lanjut dari MoU antara BNN RI dan AFP yang telah ditandatangani pada tahun 2021 lalu.
“Penanganan bagi pecandu dan penyalahguna narkotika melalui jalur hukum memerlukan sinergitas penegakan hukum dari aparat penegak hukum (APH) yang terlibat di dalamnya, dan dalam proses ini undang-undang telah mengatur adanya tim asesmen terpadu yang terdiri dari tim hukum yaitu Polri, BNN, Kejaksaan, dan Kemenkumham, serta tim medis yaitu dokter dan psikolog,” ujar Kepala BNN RI, Marthinus Hukom, S.I.K., M.Si., saat membuka FGD.
Namun demikian, tujuan dari pembentukan TAT menurut Kepala BNN RI masih belum dapat terealisasi disebabkan adanya permasalahan teknis dan kelembagaan. Salah satu masalah teknis tersebut diungkapkan oleh Hakim Agung Kamar Pidana Mahkamah Agung, Jupriyadi, S.H., M.Hum., dalam forum diskusi.
Berdasarkan data yang Ia miliki, sebagian besar kasus tindak pidana narkotika pada akhirnya tidak dapat diputus rehabilitasi karena tidak terpenuhinya persyaratan sebagaimana yang diatur dalam Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 4 Tahun 2010, seperti tidak adanya hasil laboratorium narkotika, tidak adanya surat hasil pemeriksaan dari psikiater, hingga tidak adanya hasil TAT.
Sementara itu, masalah teknis lain juga diungkapkan oleh Direktur Tindak Pidana Narkoba Bareskrim Polri, Mukti Juharsa, S.I.K., M.H. Dalam kesempatan tersebut Ia mengungkapkan keterbatasan jumlah TAT, dimana tidak semua kota/kabupaten memiliki tim tersebut dan anggaran asesmen yang terbatas menyebabkan banyaknya kasus yang tidak dapat terakomodir.
Terlepas dari berbagai tantangan dan hambatan yang ada, Deputi Hukum dan Kerja Sama BNN, Agus Irianto, S.H., M.Si., M.H., Ph.D., di akhir sesi menyampaikan bahwa dalam penanganan kasus tindak pidana narkotika diharapkan tidak hanya mengedepankan sisi kepastian hukum tapi juga rasa keadilan. Berbagai masalah dan masukan dalam pertemuan ini nantinya diharapkan tidak hanya berhenti pada forum diskusi saja, tetapi akan membuahkan sebuah formulasi kebijakan dan pedoman teknis yang dapat diimplementasikan.
#indonesiabersinar
#indonesiadrugfree
BIRO HUMAS DAN PROTOKOL BNN RI