Skip to main content
Artikel

Kratom, Antara Polemik dan Harapan

Kratom, Antara Polemik dan Harapan
#BNN #StopNarkoba #CegahNarkoba 

BNN.GO.ID – Kalbar, Memasuki Desa Nanga Sambus, Kecamatan Putussibau Utara, Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat, hamparan berwarna coklat kehitaman terlihat di halaman rumah beberapa penduduk. Sekilas menyerupai daun tembakau kering. Namun dari penjelasan Mukhlis, seorang pendamping yang menemani, meyakinkan kami bahwa itu adalah daun kratom yang sedang dijemur.

Tanaman yang memiliki nama ilmiah mitragyna speciosa ini oleh masyarakat setempat lebih dikenal dengan nama purik. Sejak beberapa tahun terakhir tanaman ini banyak diperbincangkan, bahkan juga menimbulkan kegamangan. Ini terkait rencana pemerintah pusat yang akan memasukkan kratom ke dalam penggolongan Narkotika.

Berdasarkan cerita setempat, awalnya tanaman ini tumbuh di dalam hutan, terutama di jalur sungai Kapuas. Sejak dulu biasa dikonsumsi untuk meredakan rasa sakit hingga mengatasi kelelahan. Masyarakat kemudian mulai memanen dan menjualnya seharga Rp. 50.000 per kilogram. Pohon berusia lebih dari 4 tahun menghasilkan daun dengan harga jual lebih tinggi karena diyakini memiliki khasiat yang lebih baik. Karena permintaan semakin meningkat, masyarakat mulai membudidayakannya sejak tahun 2005 di lahan yang mereka miliki.

Tanaman kratom dapat tumbuh hingga 4 sampai 16 meter, namun biasanya dipertahankan sekitar 1,5 – 2 meter untuk memudahkan saat memetik daunnya. Data Dinas Koperasi, UKM dan Perdagangan Kab. Kapuas Hulu (2020) menyebutkan di Kapuas Hulu terdapat 18.120 petani kratom dengan luas lahan 11.225 hektar yang tersebar di 22 kecamatan. Adapun jumlah batang pohon kratom sekitar 44.491.317 buah.

Baca juga:  Deputi Pencegahan BNN Terima Kunjungan DPP LSM GNRI

Budidaya kratom tergolong praktis. Dari awal tanam hingga panen pertama hanya membutuhkan waktu sekitar 6 – 7 bulan. Daun segarnya dihargai Rp. 5.000 per kilogram. Bila daun telah kering dan berbentuk remahan harganya Rp. 24.000 – 25.000 per kilogram. Untuk daun yang difermentasi harganya naik menjadi Rp. 26.000 – 27.000. Harga ini sempat mencapai Rp. 35.000 per kilogram, sekitar 1,5 tahun yang lalu.

Fermentasi dilakukan dengan cara menjemur daun selama sehari kemudian dimasukkan ke dalam karung dan ditutup rapat selama 2 hari hingga berwarna coklat dan memiliki kadar air minimal. Setelah itu daun dijemur kembali dan digiling hingga berbentuk remah. Untuk menjualnya tidaklah sulit karena setiap hari selalu ada pengepul yang datang untuk mengambil.

Satu hal yang menarik, walaupun kratom telah melekat di tengah masyarakat sejak 15 tahun terakhir, sulit sekali menemukan warung yang menjual produk olahannya. Ini karena hampir setiap kepala keluarga memiliki tanaman tersebut, sehingga bila mereka membutuhkan tinggal memetik saja. Terkesan mereka sedikit menutupi usaha ini. Beruntung kami ditemani Mukhlis si pendamping, sehingga memudahkan saat berinteraksi dengan mereka.

Baca juga:  Gandeng PT. Bintang Toedjoe, BNN Berikan Pelatihan Penanaman Jahe Merah Di Provinsi Kepulauan Riau

Sosok lain yang kami temui adalah Sumantri, kepala keluarga berusia 33 tahun, pemilik 2.000 batang pohon kratom, yang juga kemenakan Mukhlis. Sumantri lugas menjawab setiap pertanyaan, senyumnya tidak pernah lepas saat habis memberikan penjelasan. “Saya dapat Rp. 4 – 5 juta untuk sekali panen, tiap 1,5 bulan,” ucapnya yang memulai budidaya sejak 5 tahun lalu. Walau daun kratom bisa dipetik kapanpun, ia berpegang pada tenggang waktu 1,5 bulan untuk mendapatkan ukuran daun maksimal. Menurutnya, hama kratom saat ini hanyalah kumbang dan semak yang harus rutin dibersihkan. Untuk hama kumbang, pencegahan dilakukan dengan cara menyiram pupuk pada daun, setelah panen pertama. Selanjutnya penyiraman dilakukan setiap 2 minggu sekali.

Sumantri adalah potret kehidupan petani kratom di Desa Nanga Sambus. Desa yang berjarak hanya 15 menit dari kota Putussibau, ibukota Kabupaten Kapuas Hulu, namun memerlukan waktu 15 jam bila ditempuh melalui darat dari kota Pontianak. Menurut Sumantri, hampir dapat dipastikan desa yang memiliki 267 kepala keluarga (KK) ini semuanya memiliki tanaman kratom. Tanaman karet yang dulu sempat menjadi primadona kini semakin jarang terlihat. Kalaupun ada, terkesan dibiarkan dan tak terurus. Sejak tahun 2014, harga karet mulai jatuh dari Rp. 13.000 menjadi Rp. 6.000 per kilogram. Tak heran situasi ini membuat mayoritas petani beralih ke budidaya kratom.

Baca juga:  Kepala BNN Hadiri Rakernas DPP BERSAMA

Masa transisi tanaman kratom yang diundur hingga tahun 2024 seyogyanya dapat melahirkan regulasi yang memenuhi unsur keadilan bagi semua pihak. Bahwasanya kratom telah menopang perekonomian sebagian masyarakat dan memiliki dampak ekologi bagi lingkungan tentu tidak dipungkiri. Namun memastikan masyarakat Indonesia bersih dari indikasi zat-zat yang memiliki kandungan Narkotika juga merupakan hal yang sangat prinsipil. Pemerintah pusat beserta pihak-pihak terkait perlu duduk bersama untuk mencari solusi terbaik. Sementara proses tersebut berjalan, upaya sosialisasi dan program alternatif kepada masyarakat juga dapat dilakukan secara berkelanjutan.

Penulis :

(Khrisna Anggara/Tim3Dayatif)

Kirim Tanggapan

made with passion and dedication by Vicky Ezra Imanuel