Dalam dinamika penanggulangan narkoba, sebuah paradigma baru telah muncul, yaitu Peraturan Bersama (Perber) tentang Penanganan Pecandu Narkotika dan Korban Penyalahgunaan Narkotika ke dalam lembaga rehabilitasi oleh tujuh instansi yaitu Mahkumjakpol (MA, Kemenkumham, Kejaksaan, Polri) plus BNN, Kemenkes, dan Kemensos, pada 11 Maret 2014 lalu. Perber ini mengatur tentang penanganan penyalah guna narkoba secara lebih ideal melalui asesmen terpadu. Sederhananya, setiap tersangka yang ditangkap, idealnya diserahkan ke Tim Asesmen Terpadu (TAT) agar bisa ditentukan, apakah tersangka ini penyalah guna murni ataukah pengedar bahkan bandar. Setelah berjalan selama lima tahun, TAT telah bekerja semaksimal mungkin meski hasilnya dinilai belum terlalu memuaskan. Karena itulah diperlukan sinergi dan persamaan persepsi stakeholder dari mulai penyidik, penuntut umum hingga hakim agar TAT tetap eksis dan memberikan hasil yang signifikan.
Kepala BNN, Drs. Heru Winarko, S.H angkat bicara soal pentingnya eksistensi TAT. Menurutnya, isu yang paling mengemuka dalam penanganan narkoba saat ini adalah tentang penerapan pasal 127 UU No.35 Tahun 2009 tentang Narkotika.
“Penerapan pidana terhadap penyalahguna narkoba harus dibedakan, yaitu ada pengguna pemula, pecandu, dan korban penyalahgunaan, dan penyalah guna yang terlibat dalam jaringan narkoba,”imbuh Kepala BNN saat menjadi narasumber dalam kegiatan Coffee Morning Sinergitas BNN, Penyidik dan Penuntut Umum Dalam Penerapan Pasal 127 UU No.35 Tahun 2009 Tentang Narkotika, di gedung BNN, Kamis (7/2).
Ia menambahkan, bahwa penerapan pasal 127 harus dilakukan secara proporsional karena hal ini merupakan masalah krusial dan menyangkut hajat hidup orang banyak. Ia mengatakan tidak boleh cuek dengan isu ini.
Oleh karena itulah, Kepala BNN mengatakan bahwa pihak yang memiliki kredibilitas dalam memilah mana penyalah guna mana pengedar adalah TAT. Perlu menjadi catatan bahwa, TAT terdiri dari tim hukum dari Polri, BNN, Kejaksaan, Kemenkumham ditambah Bapas (dalam hal penanganan perkara anak), yang bertugas menganalisis apakah penyalah guna masuk dalam jaringan sindikat narkoba dan tim dokter (dokter dan psikolog) yang bertugas melakukan asesmen dan analisis medis, psikososial serta merekomendasi rencana terapi dan rehabilitasi penyalah guna narkoba.
Persoalan yang seringkali mengemuka adalah belum meratanya keberadaan TAT di daerah-daerah terpencil, sehingga capaian layanan asesmen terpadu belum begitu masif. Dari data yang dihimpun BNN, setidaknya pada tahun 2017, pelaksanaan TAT di 136 lokasi (prov/kab/kota) berjumlah 3.250. Sementara, pada tahun 2018, capaian TAT di 112 lokasi berjumlah 2.750. Dalam pertemuan inilah, Kepala BNN berkomitmen, pihaknya siap menambah personel untuk TAT.
Sementara itu, Jampidum Kejaksaan RI, Dr. Noor Rachmad, S.H, M.H menyoroti beberapa isu terkait pelaksanaan TAT. Dari hasil temuannya, ternyata banyak tersangka/anak yang di rehabilitasi tetapi sangat jauh berbeda jumlahnya dengan pelaksanaan TAT yang ada, sehingga disimpulkan rehabilitasi tersebut tanpa melalui analisis TAT. Sehingga dalam hal ini dipertanyakan tentang eksistensi TAT itu sendiri. Ia juga menemukan bahwa di dalam berkas perkara hanya melampirkan rekomendasi tim dokter.
Selain itu, dalam paparannya, Noor menyampaikan bahwa pelaksanaan analisis TAT sangat bernilai penting, namun belum didukung dengan anggaran yang memadai. Di samping itu, Institusi yang terkait dalam TAT memiliki aturan internal sendiri, sehingga ada kalanya ada perbedaan persepsi.
Karena itulah, ia mengatakan beberepa point agar TAT ini berjalan optimal antara lain : perlunya evaluasi kinerja aparat penegak hukum, diklat terpadu anggota TAT, peningkatan fasilitas dan anggaran TAT, konsistensi rujukan tersangka/anak untuk dianalisis TAT sehingga tidak tebang pilih, dan yang terpenting adalah adanya persamaan persepsi dalam pelaksanaan TAT.
HUMAS BNN