Penyuluh Narkoba adalah ujung tombak upaya pencegahan penyalahgunaan Narkoba kepada masyarakat. Berangkat dari konsep tersebut, maka penyuluh Narkoba dituntut untuk senantiasa meningkatkan kinerjanya dibidang penyuluhan. Seharusnya penyuluh tidak hanya sebatas menyampaikan informasi ataupun sosialisasi kepada masyarakat saja. Ada tanggungjawab besar bagi penyuluh agar terjadi perubahan sikap positif yang diharapkan dari khalayak yang disuluhnya.
Mardikanto (2009) menyebutkan peran penyuluh yang paling utama adalah edfikasi, yaitu; edukasi untuk memfasilitasi proses belajar mengajar yang dilakukan oleh penerima manfaat penyuluhan dan stakeholdersnya, diseminasi informasi untuk menyebarluaskan informasi dari sumber informasi ke penggunanya, fasilitasi (pendampingan) yang lebih bersifat melayani kebutuhan-kebutuhan yang dirasakan oleh khalayak, konsultasi untuk membantu memecahkan masalah, supervisi pembinaan kepada kelayan untuk mendiri, pemantauan, dan evaluasi.
Pendek kata sebagai garda terdepan BNN, penyuluh adalah penghubung antara masyarakat dengan fungsi kerja BNN lainnya dalam upaya pencegahan, pemberdayaan masyarakat, rehabilitasi penyalahguna Narkoba hingga jika dimungkinkan adalah upaya pemberantasan Narkoba. Secara konseptual, kegiatan penyuluhan bahaya penyalahgunaan Narkoba adalah upaya untuk menahan laju peningkatan angka prevalensi penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkoba. Dalam posisi ini, tugas penyuluh bukan saja menyampaikan informasi kepada khalayak tetapi juga mengedukasi mereka agar dapat memiliki perubahan sikap agar khalayak memiliki imunitas dari penyalahgunaan Narkoba.
Secara ideal kegiatan penyuluhan menurut Ban (1999) adalah sebuah intervensi sosial yang melibatkan penggunaan komunikasi informasi secara sadar untuk membantu masyarakat membentuk pendapat mereka sendiri dan mengambil keputusan dengan baik. Konsep tersebut sedikit berbeda dengan Peraturan Menteri Pemberdayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Permenpan RB) 46/2014 yang lebih menyederhanakan pengertian penyuluhan menjadi kegiatan penyebarluasan informasi tentang Pencegahan dan Pemberantasan Penyalahgunaan dan Peredaran Gelap Narkoba (P4GN) kepada seluruh lapisan masyarakat. Hal inilah yang menjadi tugas Pokok dari Penyuluh Narkoba di BNN.
Meskipun demikian, para Penyuluh Narkoba di BNN terus berperan aktif dalam kegiatan penyuluhan untuk mendidik dan menyadarkan masyarakat menolak penyalahgunaan Narkoba. Namun ditengah pandemi Covid 19 ini, kegiatan penyuluhan tersebut tidak bisa dilakukan maksimal. Di hampir seluruh stuan kerja di BNN Porvinsi ataupun BNN Kab./Kota, para penyuluh kemudian mensiasati dengan menggunakan mobil sosialisasi keliling. Melalui metode sosialisasi keliling ini penyuluh berusaha untuk tetap melayani masyarakat, meskipun pada kenyataannya penyuluhan bersifat insidental dan singkat.
Konsep CE
Di era 4.0, perubahan proses penyebaran informasi (diseminasi) terjadi secara nyata di segala bidang kehidupan, tak terkecuali di bidang penyuluhan. Diseminasi dengan cara konvensional mulai beralih menjadi lebih modern dengan memanfaatkan teknologi informasi komunikasi. Diseminasi yang biasanya dilakukan oleh penyuluh Narkoba adalah menggunakan metode tatap muka secara langsung dengan menghadirkan atau mendatangani sejumlah khalayak di suatu tempat, berubah menjadi pemanfaatan fasilitas jaringan kerja (network) dan dunia maya (cyber area) internet.
Konsep inilah yang dikenal dengan istilah Cyber Extension (CE). Dalam pengertiannya, CE merupakan salah satu sistem informasi yang dikembangkan dalam bidang penyuluhan. Mulyandari (2011) menyatakan CE merupakan salah satu mekanisme pembangunan jaringan komunikasi inovasi penyuluhan yang terprogram secara efektif. Lewat dunia maya yang dimotori oleh jaringan internet, CE mengimplementasikan teknologi informasi dengan komunikasi ke dalam sistem komunikasi inovasi atau penyuluhan.
CE adalah adalah mekanisme pertukaran informasi melalui area siber, suatu ruang imajiner-maya di balik interkoneksi jaringan komputer melalui peralatan komunikasi. CE ini memanfaatkan kekuatan jaringan, komunikasi komputer, dan multimedia interaktif untuk memfasilitasi mekanisme berbagi informasi atau pengetahuan (Wijekoon et al. 2009). Jaringan yang digunakan merupakan jaringan internet yang merupakan salah satu jenis media massa modern.
CE merupakan solusi stagnasi inovasi dalam dari hasil penelitian dalam dua dekade terakhir. Solusi ini menguat sejalan dengan semakin luasnya akses teknologi informasi oleh masyarakat, baik melalui komunikasi digital komputer maupun handphone. Permasalahannya adalah masih lemahnya pengelola CE ini untuk mengawal kualitas informasi yang seharusnya menjadi perspektif solusi aktual bagi permasalahan kehidupan masyarakat (Sumardjo, 2010; Sumardjo, 2019).
Menurut Sumardjo (2016) pada dasarnya sistem penyuluhan melalui CE menerapkan paradigma-paradigma: (1) Sistem Penyuluhan Kafetaria, (2) Prinsip tailor made massage, (3) Komunikasi dialogis-konvergen, dan (4) jaringan kemitraan komunikasi informasi/ inovasi.
Sistem Penyuluhan Kafetaria maksudnya, CE sebagai media penyuluhan menyediakan informasi sedemikian rupa sehingga informasi yang dibutuhkan oleh khalayak. Apapun yang dibutuhkan pengguna harus senantiasa disediakan oleh pengelola/admin CE, dengan memanfaatkan jaringan pakar dan situs dari instansi terkait. Sedemikian rupa dikondisikan sehingga CE berfungsi sebagai kafetarian informasi yang siap melayani segala kebutuhan informasi pelanggannya sesuai dengan potensi dan kondisi lokal.
Prinsip Tailor Made Message maksudnya adalah terjadinya kesesuaian antara penelitian, pendidikan dan penyuluhan dengan kebutuhan pelanggan CE, dan didukung oleh peraturan hukum dan pelayanan instansi/ pihak terkait secara tepat (lembaga bisnis dan dinas instansi terkait), cepat dan aktual. Diibaratkan CE seperti penjahit yang membuat baju sesuai dengan pesanan dan kebutuhan kondisi dan situasi pelanggannya (customers).
Hal ini terjadi apabila terjadi komunikasi yang bersifat dialogis dan konvergen, yaitu paradigm komunikasi interaktif dan relasional, sehingga terjadi kesesuaian (interface atau konvergensi) berbagi informasi obyektif antar stakeholders pembangunan, dengan cara mencegah terjadinya hambatan dalam pemanfaat CE untuk kepentingan masing-masing pengguna/ pelanggannya.
Penerapan CE
Pada awal pengenalan CE ini menghadapi pertanyaan yang menggambarkan kekhawatiran hilangnya peran para penyuluh, namun hasil penelitian beberapa disertasi di IPB menunjukkan justru ketika CE ini diakses oleh masyarakat, klien, penyuluh, dan tokoh lainnya, justru membuat peran penyuluhan semakin terasa dibutuhkan (Sumardjo, 2017).
Bagi penyuluh Narkoba, sebenarnya CE bukanlah suatu yang baru. Hal ini karena CE sudah ada dalam tugas penyuluh Narkoba (Permenpan RB 46/2014), yaitu melakukan kegiatan penyuluhan narkoba tidak langsung melalui pembuatan konten P4GN dalam bentuk media elektronik (online) sesuai sasaran lingkungan pekerja, masyarakat, pendidikan, keluarga, dan kesehatan. Sayangnya kegiatan ini kurang begitu masif dilakukan oleh penyuluh Narkoba, karena konsentrasi kegiatan penyuluhan yang lazim dilakukan adalah melalui kegiatan tatap muka secara langsung (sosialisasi/ceramah).
Di masa pandemi Covid 19 ini, CE mutlak dilakukan oleh para penyuluh Narkoba untuk menjaga kinerjanya tetap baik. Sepanjang pengamatan yang penulis lakukan, sudah ada beberapa penyuluh yang melaksanakankan CE dengan membuat konten kreatif dan kemudian dibagikan di media jejaring sosial seperti Instagram, Facebook, Whattsapp, ataupun Youtube. Uniknya materi penyuluhan yang dsampaikan kepada khalayak tersebut adalah mensinergikan materi penyuluhan Narkoba dengan pencegahan penyebaran Covid 19 (Metode insert konten) di dalam satu konten.
Disinilah posisi penyuluh sebagai diseminator inovasi kreatif telah ditunjukkan. Keberadaan konten kreatif tersebut bukan saja sebagai media tontonan yang menarik juga sekaligus sebagai tuntunan bagi khalayak. Keuntungan lainnya penerapan CE adalah menghindari formalitas dalam penyuluhan dengan konten yang sederhana dan mudah diingat oleh khalayak karena bisa diputar berulang kali di telepon pintar mereka.
Sebetulnya konten yang ditampilkan dalam CE tersebut bisa meminimalisir pembiayaan (Non Dipa). Hal ini dikarenakan CE cukup mengandakan kestabilan jaringan internet dalam pembuatannya dan tinggal membagikannya di halaman penyedia situs daring yang sudah ada. Berbeda dengan materi penyuluhan yang selama ini didistribusikan secara konvensional baik melalui media cetak (koran, brosur, leaflet, dll), maupun media elektronik (dalam bentuk iklan tayangan, film, dll) memerlukan biaya yang relatif besar dan memerlukan waktu yang panjang dalam produksinya. Sementara hasilnya juga belum tentu optimal. Sehingga timbul kesan bahwa dengan metode penyuluhan seperti itu, para penyuluh dianggap stagnan dalam kinerjanya.
Secara perlahan metode konvensional itu harus mulai dialihkan dengan metode penyuluhan berbasis daring, karena kalau masih mempertahankan pola konvensional, bukan tidak mungkin para penyuluh justru akan ketinggalan informasi dibanding dengan khalayak yang disuluhnya.
Tantangan CE
Penulis melihat, penyelenggaraan CE oleh Penyuluh Narkoba relatif belum berjalan secara efektif dan efisien. Secara umum konten CE yang telah dibuat adalah sekedar publikasi dan dokumentasi kegiatan konvensional dari satuan kerja penyuluh bersangkutan. Selain itu masih terlihat adanya “redundant” (tumpang tindih) data, duplikasi kegiatan, dengan kualitas data yang dikumpulkan relatif masih belum kreatif, belum sesuai kebutuhan khalayak penerima manfaat, belum tepat waktu penyajian, dan tidak up to date. Sehingga sistem umpan balik dari khalayak yang mengunjungi situs CE pun tidak berjalan optimal.
Disisi lain, belum semua penyuluh Narkoba bisa memanfaatkan media penyuluhan online ini sebagai penunjang kinerja mereka. Dilihat dari Daftar Usulan Penilaian Angka Kredit yang dikumpulkan penyuluh Narkoba setiap tahunnya, masih sedikit para penyuluh yang melaporkan kinerjanya yang menggunakan konsep CE. Hal itu disebabkan oleh masih banyaknya penyuluh yang belum mengenal teknologi ataupun kurangnya dukungan kelembagaan bagi penyuluh untuk mengembangkan konsep CE. Selain itu juga terkait dengan pola penyuluhan konvensional yang masih dianggap sebagai satu-satunya metode penyuluhan, tanpa menyadari bahwa perkembangan teknologi informasi telah melesat begitu jauh kedepan.
Namun kembali pada masih lemahnya sumber daya manusia baik ditingkat kelembagaan penyuluh maupun pada individu penyuluh sendiri. Konsep CE merupakan aplikasi yang dapat memudahkan kerja penyuluh ini, justru belum bisa dimanfaatkan secara optimal oleh penyuluh. Terakhir, dibutuh terobosan “berani” untuk mewujudkan semua ini. Para penyuluh harus benar-benar memiliki kompetensi di bidang penyuluhan, memahami seluk beluk penyuluhan, dan menguasai semua aspek penyuluhan termasuk bagaimana memanfaatkan media penyuluhan online ini untuk mengoptimalkan pelayanan penyuluhan kepada khalayak.
Sumber :
Afib Rizal : Penyuluh Narkoba BNN Provinsi DKI Jakarta