jpnn.com, SURABAYA – Untuk menjadi seorang dokter yang khusus menangani pasien kecanduan narkoba membutuhkan kesabaran tinggi.
Itulah yang dilakukan Dokter Singgih Widi Pratomo. Dia mengatakan bahwa dalam menjalankan tugas, dirinya memadukan ilmu medis dan psikologi.
LUGAS WICAKSONO
Seorang perempuan pecandu narkoba bercerita panjang mengenai dirinya kepada dr Singgih Widi Pratomo di ruang tertutup Kantor Badan Narkotika Nasional Kota (BNNK) Surabaya, Jalan Ngagel Madya V.
Perempuan berkerudung itu menceritakan perjalanan hidupnya yang getir sampai akhirnya mengonsumsi narkoba sebagai cara untuk lari dari kenyataan.
Tidak mudah bagi Singgih membujuk pecandu narkoba seperti perempuan tersebut agar mau bercerita.
Pecandu yang direhabilitasi di BNNK cenderung tertutup. Tidak jarang mereka baru membuka diri setelah berminggu-minggu diasesmen intensif.
Singgih yang kini menjabat Plt Kasi Rehabilitasi BNNK Surabaya adalah satu di antara dua dokter spesialis adiksi di Jawa Timur.
Dia bersama dr Astrid Kusumawardani yang bertugas di BNNP Jatim berkesempatan mendapat beasiswa untuk mendalami pendidikan Indonesian Short Course on Addiction Medicine (ISCAN).
ISCAN merupakan pendidikan kerja sama BNN dengan universitas tertentu yang bertujuan mendalami dampak narkotika dan psikotropika secara detail Melalui ISCAN, Singgih dapat mendeteksi pola kerja setiap jenis narkotika hingga bisa merusak tubuh manusia.
Gejala pecandu setiap jenis narkotika berbeda antara satu dan yang lain sehingga berbeda pula cara penanganannya.
”Gejala orang yang pakai sabu-sabu beda dengan yang pakai ganja. Tapi, di Surabaya ini mereka pakai macam-macam narkotika sekaligus. Pil koplo, sabu-sabu, ganja dipakai semua sehingga gejalanya kompleks,” ujar Singgih.
Pria 35 tahun itu menyebutkan, setelah mengidentifikasi gejala pecandu secara medis, dokter adiksi akan menentukan tahapan dalam mengasesmennya.
Menurut ayah dua anak itu, asesmen menjadi keahlian yang harus dimiliki dokter adiksi.
”Bagaimana orang bisa nyaman sehingga mau membuka diri tentang masalahnya. Setelah tahu masalahnya, baru terakhir masalah narkotikanya,” ujar dokter asal Gresik itu.
Suami dr Nila Hapsari tersebut mengatakan, menjadi dokter adiksi membutuhkan kesabaran tinggi.
Pecandu kerap sulit membuka diri sehingga tidak bisa segera ditangani. Dokter adiksi merupakan perpaduan antara ilmu kedokteran dan psikologi.
”Kami perlu menilai kejiwaan seseorang sebelum menentukan langkah medis. Psikologis antara satu orang dan yang lain berbeda,” ucapnya.
Selama empat tahun bertugas sebagai dokter di BNNK, Singgih sudah mengasesmen lebih dari 1.500 pecandu.
Namun, dari jumlah sekian itu, baru sekitar 35 persen yang benar-benar pulih. Menurut dia, butuh peran banyak pihak agar pecandu bisa pulih. Yang paling penting peran keluarga dan kemauan pecandu itu sendiri.
‘Orang yang sudah adiktif, lihat sedotan saja dia sudah tersugesti ingin pakai lagi. Ada pasien yang paling adiktif rehabilitasi enam bulan, hanya bertahan seminggu, balik pakai lagi,” ungkapnya.
Dari sekian pecandu yang berhasil pulih, ada satu titik yang membuat mereka lepas dari ketergantungan narkotika.
Pengalaman Singgih, umumnya pecandu pulih setelah menikah karena pola pikirnya menjadi lebih dewasa.
”Punya istri, sibuk kerja, dapat menghilangkan sugesti. Bisa berhenti dia meskipun belum sembuh total,” katanya.
Pecandu kerap tidak merasakan dampak buruk, tapi keluarga yang justru direpotkan. Barang-barang keluarga habis terjual hanya untuk membeli narkotika. Sebagian pecandu yang direhabilitasi BNNK berasal dari laporan keluarga.
Singgih dan tim kemudian menjemput paksa pecandu di rumahnya untuk direhabilitasi di BNNK.
Namun, mereka tidak memberi tahu pecandu bahwa yang melaporkan orang tuanya sendiri. Pecandu yang dijemput paksa kerap melawan.
”Mereka mengira ditangkap. Ada yang tidak terima, lalu menelepon pengacaranya. Bahkan, kami pernah ditodong pedang saat menjemput paksa,” ungkapnya. (*/c7/ayi/jpnn)
Sumber:
https://www.jpnn.com/news/sungguh-mulia-dokter-spesialis-adiksi-di-bnn-ini-sudah-tangani-1500-pasien?page=4