Skip to main content
Artikel

Mati Suri Rehabilitasi Adiksi

Oleh 15 Feb 2019Agustus 2nd, 2019Tidak ada komentar
#BNN #StopNarkoba #CegahNarkoba 

Muhammad Hatta
Dokter Balai Rehabilitasi BNN Baddoka Makassar

Penyalahgunaan narkotik telah mencapai titik nadir di Indonesia. Laporan akhir tahun Badan Narkotika Nasional (BNN) menunjukkan terdapat 914 kasus yang telah diungkap dengan 1.355 tersangka sepanjang 2018. Adapun pengguna yang dirawat di pusat rehabilitasi milik pemerintah dan masyarakat berjumlah 15.263 orang. Jumlah tersebut relatif sama dengan tahun 2017, yang merehabilitasi 15.302 penyalah guna narkotik. Angka tersebut sangat jomplang dengan keinginan Presiden Joko Widodo yang ingin 100 ribu pecandu direhabilitasi setiap tahun.

Survei Penyalahgunaan Narkotika BNN menguak fakta bahwa sebagian masyarakat (49 persen) masih belum mengetahui keberadaan tempat rehabilitasi di wilayah mereka. Dari jumlah tersebut, hanya 5 persen yang tertarik menjalani proses rehabilitasi hingga selesai. Sebagian besar responden (57 persen) merasa mampu mengobati diri sendiri dan masih menganggap pusat rehabilitasi sebagai “rumah sakit berbayar”(BNN, 2018). Dapat disimpulkan, walau gratis dan biaya ditanggung sepenuhnya oleh negara, tempat-tempat rehabilitasi masih menanggung stigma negatif dan belum tersosialisasikan dengan baik.

Ada beberapa kendala dalam program rehabilitasi. Pertama, masih tumpang-tindihnya kewenangan antarinstansi pemerintah dalam program rehabilitasi pecandu narkotik. Undang-Undang Narkotika menyebutkan, pecandu dan korban penyalahgunaan narkotik wajib menjalani rehabilitasi di tempat-tempat yang ditunjuk oleh negara, dengan Kementerian Kesehatan dan Kementerian Sosial menjadi penanggung jawab utama, masing-masing di bidang rehabilitasi medis dan sosial. Undang-undang itu juga menyebutkan tugas BNN hanyalah meningkatkan kemampuan lembaga rehabilitasi yang berada di bawah pengawasan kedua kementerian tersebut. Dikotomi medis-sosial itu menjadikan rehabilitasi tak holistik. Sebab, proses rehabilitasi bukan sekadar pemberian obat-obatan medis ketika pecandu tengah sakau, melainkan juga terapi sosial, seperti psikoterapi, perubahan perilaku, dan bimbingan keagamaan. Walau Presiden Jokowi meneken Instruksi Presiden Nomor 6 Tahun 2018 tentang Percepatan Aksi Pencegahan, Pemberantasan, Penyalahgunaan, dan Peredaran Gelap Narkoba (P4GN) pada Juli tahun lalu, tetap saja ego sektoral di antara kementerian/lembaga masih kental.

Minimnya koordinasi di antara ketiga instansi tersebut pun terkuak dalam sebuah kajian Ombudsman Republik Indonesia. Faktor biaya yang tinggi (padahal seharusnya gratis menurut Peraturan Menteri Kesehatan), rentan diskriminasi layanan, serta acuan data yang berbeda-beda antara BNN, Kementerian Kesehatan, dan Kementerian Sosial membuat prospek rehabilitasi semakin suram. Ombudsman mengeluarkan rekomendasi bagi masing-masing instansi tersebut agar berbenah dan bersatu padu memberi layanan yang lebih baik kepada masyarakat.

Baca juga:  Pemusnahan Ladang Ganja 2 Hektar Oleh BNN RI

Kajian Ombudsman tersebut menguak pula ketiadaan standar baku rehabilitasi pecandu secara nasional. Tiap kementerian/lembaga berebut membuat standar sendiri. Pada pertengahan 2017, Kementerian Sosial meluncurkan standar nasional rehabilitasi narkotik melalui Peraturan Menteri Sosial Nomor 9 Tahun 2017 sebagai “saingan” standar yang telah dibuat oleh Kementerian Kesehatan melalui Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 80 Tahun 2014 dan BNN melalui Peraturan Kepala BNN Nomor 24 Tahun 2017.

Hal ini berdampak ketidakjelasan alur dukungan anggaran pemerintah bagi program rehabilitasi, terputusnya layanan pada aras pasca-rehabilitasi, dan minimnya evaluasi mutu layanan. Dampak mengenaskan lainnya adalah kualitas data jumlah pecandu yang telah direhabilitasi berbeda-beda antara satu institusi dan institusi lain.

Institusi Penerima Wajib Lapor (IPWL) selaku ujung tombak rehabilitasi pun bernasib sama. Survei yang dilakukan oleh Pusat Penelitian, Data, dan Informasi BNN pada kelompok rumah tangga di 20 provinsi pada 2015 menemukan fakta miris: hanya 5 persen masyarakat yang pernah mendengar istilah IPWL. Dari jumlah tersebut, mayoritas responden (58 persen) mengaku mendengar istilah IPWL dari aparat kepolisian dan penegak hukum lain. Sisanya (30 persen) dari media televisi/Internet dan saat menimba ilmu di sekolah/perguruan tinggi. Padahal IPWL merupakan pengobatan rawat jalan bagi para pecandu yang dapat berwujud puskesmas, rumah sakit, atau panti sosial. Diperkirakan hanya sekitar 30 persen dari ratusan IPWL di bawah Kementerian Kesehatan dan Kementerian Sosial yang masih memberikan layanan.

Baca juga:  PENGUNGKAPAN JARINGAN NARKOBA INTERNASIONALdanPEMUSNAHAN BARANG BUKTI5.095 Gram Shabu24 Januari 2011

Kemauan untuk berkoordinasi menjadi kunci solusi permasalahan tersebut. Ini diperkuat dengan pembentukan mekanisme kewaspadaan dan sosialisasi yang intens antara aparat pemerintah dan masyarakat di pelbagai aras. Penataan ulang komponen terkait, seperti yang ditekankan oleh hasil kajian Ombudsman, mesti dikedepankan. Rencana Kementerian Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan mengambil alih kisruh antarinstitusi ini mesti diapresiasi. Desain besar rehabilitasi yang menyatukan peran tiga institusi ke dalam satu wadah dapat menjadi solusi. Ombudsman menyarankan BNN mengelola IPWL, sedangkan Kementerian Kesehatan dan Kementerian Sosial menetapkan standar pelayanan rehabilitasi dan pasca-rehabilitasi.

dikutip dari :

Portal : Tempo.Co

https://kolom.tempo.co/read/1175460/mati-suri-rehabilitasi-adiksi/full&view=ok

Kirim Tanggapan

made with passion and dedication by Vicky Ezra Imanuel