
Perubahan rancangan undang-undang (RUU) Narkotika menjadi RUU Narkotika dan Psikotropika merupakan sebuah keniscayaan di tengah dinamika perkembangan kejahatan narkotika yang semakin kompleks dan terorganisir. Sistem hukum nasional dituntut untuk terus adaptif terhadap perubahan sosial, kemajuan ilmu pengetahuan, serta pergeseran paradigma penanggulangan narkotika yang secara dominan bergeser kepada pendekatan kesehatan semata.
Terlebih, dengan akan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) mulai 2 Januari 2026, Harmonisasi regulasi menjadi sangat mendesak agar tidak terjadi tumpang tindih atau kekosongan hukum dalam penegakan di lapangan. Oleh karena itu, pembaruan RUU Narkotika dan Psikotropika tidak hanya sekadar memperbaiki aspek normatif, tetapi juga harus mampu memperkuat kelembagaan, menyelaraskan fungsi antarinstansi, dan menjamin sistem yang adil, efektif, serta berorientasi pada perlindungan masyarakat secara holistik.
Menindaklanjuti kebutuhan tersebut, Badan Narkotika Nasional (BNN), melalui Direktorat Hukum Deputi Bidang Hukum dan Kerja Sama menggelar audiensi guna membahas RUU Narkotika dan Psikotropika, di Kantor BNN Provinsi Sumatera Utara, Kamis (19/6).
Dipimpin langsung oleh Deputi Hukum dan Kerja Sama BNN RI, Agus Irianto, kegiatan ini dihadiri oleh perwakilan Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara, seluruh jajaran BNN Provinsi Sumatera Utara, Hakim, serta berbagai pemangku kepentingan lainnya. Fokus utama rapat adalah percepatan penyusunan dan harmonisasi RUU Narkotika agar sejalan dengan berlakunya UU No. 1 Tahun 2023 tentang KUHP yang akan efektif mulai 2 Januari 2026.
Dalam rapat, sejumlah isu strategis menjadi perhatian, di antaranya adalah perlunya semangat restorative justice dalam RUU, dengan catatan tidak semua perkara narkotika dapat diselesaikan melalui restorative justice. Isu sanksi pidana dan denda juga menjadi sorotan, di mana denda yang terlalu tinggi dinilai membebani terpidana dan belum tentu efektif sebagai pemasukan negara. Usulan revisi mekanisme denda perlu dipertimbangkan dan direformulasikan kembali agar tidak mengubah status denda sebagai pidana tambahan menjadi pidana pokok (penjara).
Kejelasan hukum dalam penegakan di lapangan turut dibahas secara mendalam oleh APH (Penyidik, Kejaksaan, dan Hakim). Hal lain yang menjadi perhatian adalah mekanisme pembuktian dan perlindungan saksi dalam praktik pembelian terselubung (undercover buy) serta disparitas perlakuan rehabilitasi antara masyarakat umum dan kelompok tertentu.
Deputi Hukum dan Kerja Sama menekankan pentingnya pengawasan internal, harmonisasi regulasi dengan pendekatan kesehatan jiwa dan standar internasional, serta pelibatan lintas sektor seperti Kementerian Kesehatan, Kementerian Sosial, KPAI, dan masyarakat sipil. Dalam aspek kelembagaan, BNN tetap dipandang sebagai institusi utama penanganan narkotika, dengan penguatan regulasi melalui Peraturan Presiden. Penegakan hukum narkotika ditegaskan sebagai tanggung jawab kolektif seluruh stakeholder, bukan hanya satu lembaga.
Di tingkat daerah, penyidik Polres menghadapi tantangan dalam penetapan barang bukti sesuai waktu yang diatur undang-undang dan keterbatasan fasilitas dalam pengungkapan kasus. Usulan revisi waktu penetapan barang bukti serta optimalisasi peran Tim Asesmen Terpadu (TAT) menjadi rekomendasi penting. Aspek kesehatan, rehabilitasi, perlindungan anak, dan pengaturan zat psikoaktif baru (NPS) juga menjadi bagian dari pembahasan guna memastikan penegakan hukum tetap relevan dengan perkembangan kejahatan narkotika.
Dalam sesi wawancara, Deputi Hukum dan Kerja Sama mengatakan kegiatan ini bertujuan untuk menghimpun masukan dari seluruh stakeholder agar revisi Undang-Undang Narkotika benar-benar komprehensif dan mampu menjawab tantangan hukum serta kebutuhan masyarakat. Ia berharap, setelah revisi dan harmonisasi regulasi ini selesai, penegakan hukum dan pemberantasan narkotika yang dikoordinir oleh Desk Pemberantasan Narkotika dapat berjalan lebih efektif, sinergis, dan kolaboratif di seluruh Indonesia.
Sementara itu, Edi Yunara, Akademisi Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara menyoroti masih adanya celah hukum dan ketidaksinkronan sistem yang menghambat penegakan hukum narkotika di Indonesia. Ia berharap perubahan regulasi ini mampu membawa hasil positif bagi sistem hukum nasional dan mendorong seluruh lembaga penegak hukum untuk lebih profesional, adil, dan bersinergi dalam menanggulangi kejahatan narkotika.
Rapat ini menghasilkan sejumlah rekomendasi, antara lain percepatan pembahasan dan pengesahan RUU, peninjauan ulang sanksi denda, penguatan peran BNN, optimalisasi TAT, serta penyesuaian regulasi dengan kebutuhan rehabilitasi dan perlindungan anak. Seluruh pihak sepakat bahwa perang melawan narkotika adalah tanggung jawab bersama dan harus dilakukan secara terintegrasi, efektif, serta berkelanjutan.
#indonesiabersinar
#indonesiadrugfree
BIRO HUMAS DAN PROTOKOL BNN